TNC, bekasi, selasa(18/6)–Pada tahun 1989, Kiai Syansuri Badawi, seorang ahli fiqih, terlibat dalam dunia politik sementara Kiai Mukhtar Syafa'at, seorang sufi, memilih untuk tetap menjaga jarak dari politik. Meskipun keduanya memiliki pandangan yang berbeda eksternalnya, namun pada inti hati keduanya memiliki niatan yang sama, baik dari sisi naqliyyan maupun aqliyyan. Hal ini mengingatkan kita pada masa dimana fikih dan tasawuf belum didamaikan oleh al-Ghazali.
Kiai Syansuri memberikan tanggapannya terhadap pandangan bahwa politik merupakan hal yang kotor dengan menyatakan bahwa kekotoran dapat terjadi di mana saja, bukan hanya di dunia politik. Baginya, terlibat dalam politik adalah sebuah bentuk pengabdian pada agama, dan itu menjadi landasan kuat sehingga tidak perlu takut untuk terlibat dalam "kekotoran" tersebut. Menurutnya, tugas setiap muslim adalah membersihkan kekotoran tersebut dengan melakukan amar ma'ruf nahi munkar.
Di sisi lain, Kiai Syafa'at merespons mengenai kiai yang enggan terlibat dalam politik dengan menyatakan bahwa dirinya memilih untuk fokus pada kegiatan keagamaan, yaitu mengaji. Menurutnya, hanya orang NU yang mampu menyelenggarakan pengajian dengan benar dan dihadiri oleh banyak orang, sehingga hal ini menjadi potensi untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar, yang juga merupakan perjuangan untuk umat.
Dalam hubungan agama-negara, al-Ghazali menyatakan bahwa kekuasaan dan agama merupakan saudara kembar, dimana agama menjadi dasar yang kuat sementara kekuasaan menjadi penjaganya. Kiai Syafa'at memilih peran sebagai penguat dasar agama, sedangkan Kiai Syansuri memilih peran sebagai penjaganya. Dengan demikian, tidak ada yang perlu berselisih asalkan memiliki niat dan tujuan yang sama.
[RED]WANDI
0 Komentar